Uji Klinis Vaksin Covid-19 Asal China: Anggaran dan Kekhawatirannya…
Penulis Fitria Chusna Farisa | Editor Fabian Januarius Kuwado
JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah akan segera menggelar uji klinis tahap tiga vaksin Covid-19 asal China, Sinovac. Saat ini pemerintah telah menerima 2.400 vaksin. Uji coba dilakukan pemerintah bekerja sama dengan PT Bio Farma. “Rencana kita awal Agustus kalau lancar itu sudah bisa dilakukan uji klinis tahap tiga,” kata Corporate Secretary PT Bio Farma Bambang Heriyanto dalam diskusi yang digelar secara virtual, Minggu (26/7/2020).
Baca juga: Ini Kriteria Pasien Covid-19 yang Biayanya Bisa Diklaim Rumah Sakit ke Kemenkes
Setibanya di Indonesia, vaksin itu harus lebih dulu dikarantina sehingga tidak bisa langsung digunakan. Sebanyak 2.400 vaksin diperuntukkan bagi 1.620 sukarelawan. Adapun satu vaksin Sinovac digunakan untuk satu orang. Sisanya, kata Bambang, sudah dialokasikan untuk keperluan uji klinis juga. “Ini dosisnya dosis tunggal tinggal pakai. Vaksinnya sudah ada di dalam kemasan jarum suntik jadi tinggal disuntikkan ke sukarelawan,” ujar dia.
Butuh Rp 25-30 triliun
Dalam kesempatan sama, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Dany Amrul Ichdan menyebut, pemerintah harus menyiapkan sekitar Rp 25-30 triliun untuk uji klinis vaksin Covid-19. Perkiraan angka tersebut dikalkulasikan dengan perkiraan harga vaksin yang mencapai Rp 5-10 Dolar AS, dikalikan dengan 175 juta vaksin. “Kalau katakanlah 5 dolar itu harganya dan dijual kurang lebih dengan harga yang sama berarti negara harus mengalokasikan kurang lebih sekitar 25 sampai 30 triliun lah harus disiapkan,” kata Dany, Minggu.
Adapun, angka 175 juta vaksin dihitung berdasar reproduction number (R0) yang mencapai angka 2 hingga 3. R0 merupakan angka pertambahan kasus Covid-19 tanpa adanya intervensi atau secara alami. Jika kasus Covid-19 dinyatakan R0 sekitar 2,5, artinya secara alami tanpa intervensi satu orang yang positif Covid-19 akan menularkan dua hingga tiga orang. Atau, bisa juga dimaknai muncul dua hingga tiga kasus baru secara rata-rata. “Kalau indikator-indikator Covid kita R0-nya itu kan katakanlah di dua atau tiga, berarti kita itu kurang lebuh perlu 174 atau 175 juta vaksin,” ucap Dany. “Negara harus mengalokasikan itu,” lanjut dia.
Pendekatan B2B
Dany juga menyampaikan bahwa uji klinis vaksin Sinovac asal China dilakukan pemerintah Indonesia dengan pendeketan business to business (B2B), bukan government to government (G2G). Namun demikian, Dany menyebut, pemerintah bakal menggunakan pendekatan G2G dalam melakukan negosiasi harga vaksin yang bakal diuji klinis. “Dalam pemahaman yang didapatkan dari berbagai paparan dari Pak Menristek, dari Menkes itu sebenernya penjajakan awal secara B2B,” kata Dany.
Selain itu, menurut Dany, pemerintah bakal menyiapkan payung hukum terkait pendekatan B2B yang digunakan dalam negosiasi uji klinis vaksin Sinovac tersebut. “Tapi business to business yang dipayungi oleh regulator dalam hal ini memayungi, negara menyiapkan milestone-nya, menyiapkan pasar, support of technology juga join riset dengan BPPT dengan Kemenristek,” ucapnya.
Dijadikan Bisnis?
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay khawatir uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac hanya dijadikan bisnis antara pemerintah Indonesia dengan China. Sebab, uji klinis vaksin ini dilakukan dengan pendekatan business to business (B2B), bukan government to government (G2G). “Persoalannya ini apakah business to business ini yang tadi concern saya itu adalah didasarkan pada nilai-nilai kemanusiaan atau tidak,” kata Saleh dalam diskusi yang sama, Minggu (26/7/2020).
“Karena ini kan Covid ini kan musuh bersama musuh kemanusiaan itu yang harus ditekankan bukan uangnya, ini bukan persoalan uang,” lanjut dia. Saleh khawatir, apabila digunakan dengan pendekatan B2B, vaksin ini bakal menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Apalagi, dengan jumlah penduduk Indonesia yang begitu banyak, pengadaan vaksin Covid-19 bisa menjadi bisnis besar.
“Jika 270 juta (penduduk Indonesia) ini nanti dikasih vaksin, misalnya katakan seperti itu, bayangkan betapa besar misalnya bisnis yang sedang berjalan di Indonesia ini,” ucap Saleh. Alih-alih mengimpor vaksin dari China dalam jumlah besar, Saleh justru mendorong pemerintah memaksimalkan pembuatan vaksin Covid-19 dalam negeri.
Dalam rapat antara Komisi IX dengan pemerintah beberapa waktu lalu, Saleh menyebut bahwa Menristekdikti dan Menteri Kesehatan sempat menyampaikan sejumlah lembaga tengah melakukan penelitian vaksin Covid-19. Disampaikan pula bahwa vaksin tersebut rencananya bakal siap pada awal Januari 2021 mendatang. “Kenapa harus ngambil dari sana kan kita juga nanti tinggal 5 bulan ke depan itu udah mau jadi (vaksin buatan Indonesia). Kan bulan Januari mau dirilis, sementara yang ini (vaksin Sinovac) pun kalau misal dilakukan nanti kurang lebih Januari juga,” kata Saleh.
Saleh menambahkan, seandainya ke depan pemerintah membuat regulasi tentang impor vaksin, regulasi itu justru akan semakin menguntungkan bisnis. Oleh karenanya, penting dikritisi lantaran menyangkut ketahanan nasional di bidang kesehatan. “Walaupun ada regulasi yang mengatur justru regulasi itu menguntungkan bisnis. Itu kan supaya bisnisnya jalan dengan smooth, dengan baik, dibuatlah regulasi ini dengan kemudahan-kemudahan dan sebagainya,” kata dia.
Selain itu, Saleh juga meminta pemerintah memastikan keamanan uji klinis tahap tiga vaksin Covid-19 asal China, Sinovac, terhadap 1.620 sukarelawan. Ia ingin supaya pemerintah menjamin bahwa seluruh relawan itu tak mengalami hal-hal yang berbahaya setelah menjalani uji klinis. “Apakah ada dampak atau efek samping kepada relawan yang 1.620 itu? Jangan sampai ada yang misalnya macam-macam,” kata Saleh, Minggu (26/7/2020).
“Gimana jaminannya, apakah ada sesuatu yang membuat mereka tetap tenang demi mengikuti tes ini? Jangan sampai menyabut nyawa juga itu untuk tes ini,” lanjut dia.
Belum Tentu Lulus
Pada diskusi yang sama, Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menyebut bahwa vaksin Covid-19 Sinovac, belum tentu lulus uji klinis tahap tiga di Indonesia. Pandu bahkan sempat memperkirakan kemungkinan vaksin ini lulus uji klinis hanya sebesar 10 persen. “Belum tentu yang Sinovac ini lulus dari (uji klinis) fase tiga,” kata Pandu, Minggu.
“Kira-kira saya dulu menganggapnya 10 persen (lulus uji klinis), tapi ada teman dari Australia bilang ternyata dari pengamatan database dunia kira-kira 30 persen yang lulus di fase tiga ini,” lanjut dia. Pandu mengatakan, meski sudah sampai di tahap tiga uji klinis, sebuah vaksin bisa saja gagal digunakan secara masif jika terbukti menimbulkan efek samping bagi penggunanya. Kasus tersebut pernah terjadi ketika Indonesia melakukan uji klinis vaksin demam berdarah dengue (DBD).
Vaksin tersebut sudah lulus uji klinis tahap akhir, namun tak jadi diterapkan lantaran menimbulkan efek samping. “Jadi keselamatan itu penting sekali, walaupun efektif, ada efek samping enggak jadi, batal, walaupun sudah mahal,” ucap dia. Menurut Pandu, pengembangan vaksin memang membutuhkan waktu yang lama dan biaya tinggi. Sebelum sampai ke tahap tiga, uji klinis harus dipastikan lulus tahap satu dan tahap dua.
Uji klinis tahap satu, yakni meneliti apakah vaksin dapat merangsang antibodi. Tahap dua, mencari tahu dosis yang efektif untuk meningkatkan antibodi. Ketiga, baru dilakukan uji klinis apakah vaksin tersebut efektif bagi penggunanya. Oleh karenanya, Pandu memastikan uji klinis tahap tiga vaksin bakal berjalan aman. “Jadi kalau tidak lolos fase satu, fase dua enggak mungkin bisa lompat ke fase tiga walaupun dalam keadaan emergency sekalipun harus lewat fase satu fase dua. Karena itu sudah diyakinkan aman,” kata Pandu.