Post: Misteri Covid-19: Banyak Pasien Positif Tidak Menunjukkan Gejala
Penulis Vina Fadhrotul Mukaromah | Editor Rizal Setyo Nugroho
KOMPAS.com – Sudah 6 bulan sejak kasus virus corona pertama kali diidenfitikasi akhir Desember 2019 di Wuhan, China. Hingga kini, pandemi corona telah menyebabkan terjadinya lebih dari 500.000 kasus kematian. Para ilmuwan pun masih terus berusaha melakukan penelitian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar virus corona yang belum terjawab.
Salah satu misteri terbesar yang masih belum dapat dijelaskan dengan sempurna adalah segala hal tentang pasien-pasien tanpa gejala. Orang-orang yang terinfeksi Covid-19 tetapi tidak menunjukkan gejala apapun merupakan salah satu hal yang disebut paling membingungkan dalam darurat kesehatan umum. Beberapa waktu lalu, pemerintah Indonesia juga menyebut bahwa 80 persen dari kasus yang ditemukan merupakan kasus tanpa gejala.
Baca juga: Gugus Tugas: Salah Dapat Informasi soal Covid-19 Bisa Berakibat Fatal
Penyebab belum dapat dipastikan
Melansir NBC News, 30 Juni 2020, para ahli berpendapat bahwa tanpa pemahaman yang lebih baik tentang berapa banyak orang tanpa gejala yang terinfeksi, akan sulit untuk mengetahui secara persis bagaimana kontribusinya terhadap penyebaran virus. Selain itu, apakah mereka telah memiliki antibodi tertentu dan perlindungan lain yang mungkin memberikan jenis kekebalan tertentu terhadap re-infeksi.
Dokter sekaligus ahli paru di Langone Hospital-Brooklyn New York University, Dr Jorge Mercado, mengatakan bahwa para ilmuwan masih belum yakin mengapa banyak orang yang terpapar virus dan tidak menunjukkan gejala. “Kita benar-benar tidak tahu banyak tentang penyakit ini. Kita hanya mengetahui sedikit lebih banyak dari tiga bulan lalu, tetapi masih banyak yang belum dapat terjawab,” kata dia. Para pihak berwenang di bidang kesehatan publik masih berjuang untuk mengetahui jumlah sesungguhnya dari orang-orang yang terinfeksi.
Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) mengatakan bahwa jumlah kasus Covid-19 di AS, termasuk yang tidak menunjukkan gejala, kemungkinan 10 kali lebih tinggi dari yang telah dilaporkan. Awalnya, banyak kasus tanpa gejala yang tidak terdeteksi karena kekurangan alat tes sehingga membatasi kapasitas tes hanya untuk pasien sakit. “Kita cenderung mengetahui orang-orang tak bergejala atau dengan gejala ringan ketika melakukan penelusuran kontak. Saya pikir masih lama hingga dapat dipastikan persentase sesungguhnya,” kata Asisten Profesor di Emory University, Dr Marybeth Sexton.
Pengaruh periode inkubasi
Sexton menyebut bahwa periode inkubasi virus yang lama juga menyebabkan kebingungan tersendiri tentang bagaimana “tanpa gejala” atau asymptomatic didefinisikan. Menurut CDC, perlu waktu hingga 14 hari setelah paparan untuk seseorang dapat menunjukkan gejala tertentu.
“Ada orang-orang yang positif terinfeksi tetapi benar-benar tidak menunjukkan gejala, ada orang yang menunjukkan gejala sangat ringan, dan ada pula yang berpikir bahwa mereka tergolong asymptomatic hingga mengalami gejala lain dari Covid-19,” ujar Sexton. Sejauh ini, diyakini bahwa orang-orang dalam kategori tersebut, termasuk yang berada di tahap pre-gejala, dapat menyebarkan virus.
Pada awal Juni lalu, WHO dipaksa untuk mengklarifikasi bahwa virus corona dapat disebarkan oleh orang tanpa gejala setelah salah satu epidemiolog, Maria Van Kerkhove, menyebut penyebaran Covid-19 oleh orang tanpa gejala “sangat jarang”. Penilaian Verkhove dikritisi oleh para ilmuwan di dunia. Satu hari setelahnya, ia mengatakan bahwa pernyataannya didasarkan pada beberapa penelitian yang telah melalui peer-review dan panduan WHO masih terus berlaku.
Silent spreader
Para ilmuwan mengatakan bahwa orang-orang tanpa gejala dapat disebut sebagai silent-spreaders, yang menularkan Covid-19 tanpa harus menunjukkan gejala. Namun, tidak diketahui seberapa besar kontribusinya terhadap wabah ini. Tanda tanya lainnya adalah bagaimana sistem imun orang-orang tanpa gejala merespons dan apakah mereka mengembangkan antibodi atau perlindungan tertentu terhadap virus.
Sebuah studi yang diterbitkan 18 Juni lalu dalam Jurnal Nature Medicine merupakan yang pertama meneliti respons imun pada pasien virus corona tanpa gejala. Meskipun tergolong sebagai penelitian kecil, para ilmuwan menemukan bahwa pasien tanpa gejala memang mengembangkan antibodi tertentu. Namun, peneliti menemukan tingkat antibodi pada orang-orang tersebut berkurang dalam waktu 2-3 bulan.
Hingga kini, belum diketahui apakah antibodi Covid-19 memberikan kekebalan jenis apapun. Akan tetapi, jika benar, hasil studi tersebut menunjukkan perlindungan ini mungkin tidak berlangsung lama, terutama di antara mereka yang tidak menunjukkan gejala. Sexton juga menyebut bahwa penelitian terbaru, meskipun kecil, mengungkap beberapa hal tentang respons imun pasien tanpa gejala. Namun, hasil tersebut juga menunjukkan seberapa banyak hal yang masih tidak diketahui tentang populasi ini.