Isolasi Mandiri karena Covid-19, Ini 2 Cara Deteksi Dini Happy Hypoxia
Penulis Jawahir Gustav Rizal | Editor Inggried Dwi Wedhaswary
JAKARTA, KOMPAS.com – Happy hypoxia syndrome menjadi kekhawatiran baru terhadap kondisi para pasien Covid-19 tanpa gejala. Kasus di beberapa daerah menunjukkan, orang tanpa gejala atau mengalami gejala ringan Covid-19 mengalami happy hypoxia yang ditandai dengan saturasi oksigen dalam darah yang tiba-tiba menurun hingga berakibat fatal.
Mereka yang positif Covid-19 tanpa gejala atau hanya mengalami gejala ringan biasanya akan diminta melakukan isolasi mandiri dengan pemantauan petugas kesehatan. Ahli Patologi Klinis yang juga Direktur dan Juru Bicara Satgas Covid-19 RS UNS, Surakarta, Jawa Tengah, Tonang Dwi Ardyanto, mengatakan, menemukan penyebab munculnya happy hypoxia menjadi pekerjaan rumah baru yang harus ditemukan jawabannya.
Saat dihubungi Kompas.com, Senin (7/9/2020), Tonang mengatakan, penderita sindrom itu tidak menunjukkan gejala umum yang dialami oleh orang yang mengalami kekurangan oksigen. Sebaliknya, mereka justru tampak sehat dan baik-baik saja.
Baca juga: Riset Baru: Face Shield dan Masker Berkatup Tak Efektif Cegah Covid-19
Bagi mereka yang menjalani isolasi mandiri diimbau untuk mewaspadai kondisi ini karena tidak mendapat pengawasan 24 jam dari tenaga kesehatan. Apa yang bisa dilakukan untuk mendeteksi dini happy hypoxia? Tonang mengatakan, untuk mengantisipasi dan mendeteksi dini happy hypoxia syndrome, ada dua cara yang bisa dilakukan, yaitu:
- Tarik napas dalam-dalam 2-3 kali. Bila timbul rangsangan batuk, waspadai risiko hipoksia.
- Menggunakan alat Pulse Oxymetri di ujung jari, untuk mengukur saturasi oksigen.
“Keduanya dilakukan berkala, minimal pagi-siang-sore-malam,” kata Tonang. Pasien dan keluarganya juga diingatkan lebih waspada jika muncul kondisi sebagai berikut:
- Frekuensi napas makin cepat.
- Merasa cepat lelah.
- Ada rasa berat di dada saat bernapas
Jika terjadi tiga kondisi di atas, maka harus segera melapor ke faskes terdekat.
Seperti diberitakan Kompas.com, 12 Agustus 2020, Dokter spesialis paru sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, mengatakan, hypoxia syndrome diawali dengan peradangan paru-paru atau pneumonia yang membuat perputaran oksigen terganggu.
“Darah yang kurang oleh oksigen ini kan nantinya akan masuk ke jantung dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Akibatnya, jaringan-jaringan dan organ tubuh yang lain ikut mengalami kekurangan oksigen, yang disebut sebagai hypoxia,” kata Agus. Kondisi tersebut terjadi ketika seseorang yang mengalami hypoxia syndrome, tetapi terlihat seperti orang normal.
“Pengalaman saya sebagai dokter paru yang juga merawat pasien Covid-19, ternyata memang kasus-kasus pasien dengan happy hypoxia itu memang terjadi,” kata dia. Apa yang dialami pasien happy hypoxia sydrome masih menjadi tanda tanya di dunia medis. Para peneliti di dunia pun tengah melakukan kajian atas temuan happy hypoxia pada penderita Covid-19.