Tantangan Pembangunan Kesehatan di Era Disrupsi

KEMAJUAN teknologi informasi serbad igitalisasi ternyata tidak sepenuhnya berbanding lurus problematika kesehatan kekinian. Maraknya penyakit menular (communicable disease) seperti demam berdarah, TBC, hepatitis, HIV/AIDS, termasuk Covid-19 yang belum juga sepenuhnya mereda dan tidak menular (uncommunicable disease) masih mengancam kesehatan publik kekinian. Seperti stroke, penyakit jantung koroner, hipertensi, kanker, gagal ginjal, diabetes melitus, penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dan gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan.

Baca Juga: Indonesia Ditunjuk Jadi Penerima Teknologi Vaksin mRNA dari WHO

Belum termasuk problem kesehatan akibat dampak lingkungan yang buruk seperti banjir, kekeringan, tanah longsor dan lain-lain yang tak bisa juga dipandang remeh yang terkadang bersifat tak terduga (unpredictable).

Pembangunan kesehatan juga tidak lepas dari sentuhan teknologi digitalisasi guna memberikan perubahan dan akselerasi kualitas layanan cepat, responsif, akurat, dan dapat memberikan nilai tambah kepuasan masyarakat sebagai pengguna layanan (user).

Namun sisi lain, tidak dapat dihindari bahwa penggunaan teknologi memberi warna dan wajah layanan kesehatan cenderung kapitalistik ditandai kalkulasi atau hitung-hitungan keekonomian (benefit cost). Akibatnya biaya ditanggung pengguna layanan juga meningkat.

Meski sudah hampir semua masyarakat sudah terkaver jaminan kesehatan, namun tetap saja ada ‘ongkos’ harus dikeluarkan oleh masyarakat terutama yang dilakukan perawatan ‘di luar’  layanan kesehatan atau dilakukan sistem rujukan ke layanan kesehatan lebih komprehensif.

Sehat Itu Murah

Selama ini ada anggapan bahwa sehat itu mahal, perlu diluruskan sebab dalam konteks konsep paradigma sehat adalah murah. Sebaliknya jika sudah jatuh sakit, akan kehilangan waktu, tenaga, kesehatan, produktivitas, hingga pengeluaran akan membengkak.

Buktinya sederhana, contoh kebiasaan mencuci tangan pakai sabun dengan air mengalir misalnya, secara empiris menurunkan risiko timbulnya penyakit hingga 70-80 persen. Sebab, hampir 90 persen munculnya penyakit bermula dari akses mulut (digestifus system) dan hidung (respiratory system).

Jika ini dilakukan masif, konsisten dan seluruh masyarakat, setidaknya dapat mengurangi risiko terjadinya penyakit saat ini terus mengancam jika lengah. Harus diakui bahwa pandemi Covid-19 dijadikan momentum untuk ‘kembali ke fitri’ untuk menanamkan (kembali) kebiasaan perilaku hidup bersih dan sehat dimana salah satunya adalah mencuci tangan.

Di era disrupsi, eksistensi transformasi teknologi informasi tidak terelakan, masyarakat kian memudahkan memenuhi kebutuhan dan keinginan melalui smartphone. Belanja, bekerja, rapat saat ini dapat dilakukan di rumah atau di mana saja (anywhere), akibatnya orang lebih cenderung “malas” bergerak. Sehingga tanpa sadar durasi waktu tertentu berpotensi menimbulkan embrio penyakit tidak menular apalagi tidak diiringi aktivitas olahraga. Juga kurang konsumsi serat, meningkatnya komposisi gula, garam dan lemak dalam bahan pangan kian meningkatkan probabilitas seseorang terserang penyakit terutama kelompok risiko seperti orang lanjut usia dan orang dengan komorbid.

Secara empiris, tren penyakit tidak menular cenderung terus meningkat seakan mengimbangi penyakit menular juga tak kalah cepat. Juga, penyakit lama justru muncul kembali sehingga terjadinya beban ganda kesehatan (triple burden).

Urgensitas

Sudah ribuan triliun gelontoran anggaran pemerintah mengatasi penanganan kasus Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, di sisi lain masyarakat teramat jenuh mengalami keletihan menghadapi pandemi (fatique) berkepanjangan dan tiada memastikan kapan bencana masal ini berakhir.

Saat yang sama, beberapa tahun terakhir sistem kesehatan kita tengah diuji berbagai problematika kesehatan, mulai hingga pemulihan kesehatan dari serangan penyakit menular seperti hepatitis akut, Covid-19 dengan berbagai variannya hingga ancaman penyakit cacar monyet (monkey pox).

Dalam konfigurasi sistem kesehatan nasional, terdapat enam jenis transformasi kesehatan dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan. Yakni transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi sdm kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan. Semunya harus dilakukan secara paralel mewujudkan masyarakat Indonesia sehat, produktif, dan mandiri secara berkesinambungan. (*)

Sumber: Tantangan Pembangunan Kesehatan di Era Disrupsi (Radar Bojonegoro)