Covid-19, Apa Itu Gelombang Kedua dan Kapan Situasi Itu Terjadi?

Covid-19, Apa Itu Gelombang Kedua dan Kapan Situasi Itu Terjadi?
Warga berolahraga saat hari bebas berkendara atau car free day (CFD) di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (21/6/2020). Dinas Perhubungan (Dishub) Provinsi DKI Jakarta memisahkan jalur untuk pesepeda, olahraga lari, dan jalan kaki saat CFD pertama pada masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi.(ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Editor Gloria Setyvani Putri

KOMPAS.com – Pandemi covid-19 jauh dari kata usai. Sejumlah negara masih bergulat mengatasi pandemi ini. Di sisi lain, negara yang diyakini mampu mengontrol wabah ini kini khawatir pada kemunculan gelombang kedua. Gelombang kedua pandemi flu Spanyol satu abad lalu lebih mematikan ketimbang saat muncul pertama kali.

Apakah gelombang kedua pandemi tidak bisa kita hindari? Dan seberapa buruk dampak yang akan dimunculkannya? Apa yang dimaksud gelombang kedua? Baca juga: Flush Toilet Bisa Sebarkan Virus ke Udara, Termasuk Covid-19 Bayangkan gelombang air laut. Jumlah kasus positif Covid-19 meningkat, lalu turun. Setiap tren itu dikelompokkan menjadi satu gelombang. Tidak ada definisi formal untuk istilah ini.

Baca juga: Penggunaan Darurat Obat Malaria untuk Covid-19 di AS Disetop

“Anda bisa mendefinisikan sendiri terminologi gelombang, ini bukan sesuatu yang sangat ilmiah,” kata Mike Tildesley, akademisi di University of Warwick. Sejumlah kalangan menyebut peningkatan kasus positif sebagai gelombang kedua. Namun kemunculan kasus baru ini kerap naik turun. Tren ini terjadi di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Untuk menyebut sebuah gelombang telah berakhir, penyebaran virus corona harus dikontrol dan jumlah kasusnya harus benar-benar turun.

Sementara itu, gelombang kedua bisa dikatakan muncul ketika jumlah kasus positif secara terus-menerus meningkat. Meski begitu, situasi itu tidak berlaku untuk Selandia Baru yang mengumumkan kasus positif pertama mereka setelah ’24 hari tanpa virus corona’. Gelombang kedua juga tak bisa disebut muncul di kota Beijing yang kembali menghadapi wabah usai 50 hari tanpa kasus positif. Di sisi lain, para ilmuwan berdebat apakah kriteria gelombang kedua tadi cocok dengan situasi yang tengah berlangsung di Iran.

Apa yang memicu gelombang kedua? Jawabannya adalah pencabutan pembatasan sosial secara menyeluruh. Pembatasan itu telah menimbulkan gangguan hebat di seluruh penjuru dunia: perekonomian remuk dan anak-anak tak bisa menjalani pendidikan di sekolah. Namun pembatasan ini jelas mampu mengontrol penyebaran virus corona.

“Teka-teki utama yang belum terjawab adalah bagaimana mengontrol virus dan meminimalkan dampak terhadap kehidupan sehari-hari,” kata Kucharski. Tidak ada satupun studi yang bisa memastikan apa yang akan terjadi terkait pandemi ini ke depan. Itulah mengapa sejumlah pembatasan sosial dicabut secara bertahap dan cara baru mengontrol virus corona diterapkan, seperti penelusuran kasus hingga penggunaan penutup wajah.

“Di Inggris dan negara-negara di sekitarnya, situasi buruk dapat cepat terjadi jika langkah-langkah yang diambil melampaui titik kendali,” kata Kucharski. Kondisi itu sudah mulai terjadi di Jerman, di mana 650 orang dinyatakan positif mengidap Covid-19 setelah virus itu mewabah di sebuah rumah potong hewan. Situasi itu bukan masalah besar jika kluster dapat diidentifikasi dengan cepat dan penutupan wilayah dalam lingkup lokal diterapkan.

Jika strategi itu tak diambil, ratusan kasus positif baru itu dapat berkontribusi memunculkan gelombang kedua. Korea Selatan, yang mendapat pujian luas atas kebijakan mereka menangani virus corona, kini memberlakukan kembali beberapa pembatasan karena adanya kluster semacam itu.

Akankah dampak gelombang kedua sama dengan yang pertama? Sesuatu yang lebih buruk dapat terjadi jika gelombang kedua ditangani secara keliru. Nilai R atau rata-rata jumlah orang yang terinfeksi virus adalah 3 pada awal pandemi ini. Artinya, virus itu menyebar cepat, tapi perilaku kita telah berubah dan kita menjauhi aktivitas sosial. Dampaknya, nilai R sulit mencapai angka setinggi itu lagi.

“Tidak ada negara yang akan mencabut semua larangan dan kembali hidup normal,” kata Kucharski kepada BBC. “Bahkan negara tak bisa mengendalikan virus corona, seperti Brasil dan India, tidak memiliki R 3,0.” Jika jumlah kasus mulai meningkat lagi, kemungkinan akan relatif lambat. Namun, secara teoritis, kasus positif pada gelombang kedua bisa lebih banyak daripada yang pertama karena saat ini begitu banyak orang masuk kategori rentan.

“Tapi jika kasus naik lagi, kita dapat menerapkan kembali pembatasan sosial untuk menekan gelombang kedua. Itu adalah opsi yang selalu tersedia,” kata Tildseley. Kapan gelombang kedua akan terjadi? Akankah musim dingin memperburuk dampaknya? Dr Kurcharski menyebut peningkatan kasus dalam lingkup lokal dapat terlihat beberapa minggu atau bulan mendatang, setelah berbagai pembatasan dicabut.

Namun bukan berarti gelombang kedua pasti akan terjadi. Dr Tildseley mengatakan, “Jika pembatasan dicabut secara signifikan, gelombang kedua mungkin akan terjadi akhir Agustus atau awal September.” Musim dingin mungkin waktu yang sangat krusial karena virus corona lainnya bisa menyebar secara lebih mudah. Jika kita hanya mengendalikan virusnya, faktor musim saja dapat menggenjot penyebaran virus.

“Musim semi tidak diragukan lagi membantu upaya kita,” kata Profesor Jonathan Ball, seorang pakar virologi di Universitas Nottingham. “Gelombang kedua hampir pasti tidak bisa dihindari, terutama saat kita menuju musim dingin. “Tantangan bagi pemerintah adalah memastikan tidak terlalu banyak kasus positif pada puncak gelombang sehingga sistem kesehatan tak terbebani.”

Apakah bahaya virus corona akan memudar sehingga tidak lagi menjadi masalah? Satu pendapat menyebut bahaya virus corona akan berkurang. Alasannya, virus ini berevolusi untuk menginfeksi orang. Virus HIV pun tampaknya semakin ringan. Teorinya ini menyatakan virus akan menyebar lebih jauh jika mereka tidak membunuh inangnya dan jadi lebih ringan.

“Tapi tidak ada jaminan, ini adalah sejumlah pemikiran malas beberapa ahli virus,” kata Ball. Melemahnya sebuah virus juga yang terjadi dalam waktu lama. Setelah lebih dari enam bulan pandemi, tidak ada bukti bahwa virus corona bermutasi sehingga lebih mudah menyebar lebih mudah dan tidak begitu mematikan. Profesor Ball berkata, “Orang-orang sering mengalami infeksi yang sangat ringan atau bahkan tanpa gejala.” “Jika mereka dapat menularkan virus itu ke orang lain, maka tidak ada alasan untuk membayangkan virus corona akan menjadi lebih ringan,” tuturnya.

Sumber: https://www.kompas.com/sains/read/2020/06/22/110100223/covid-19-apa-itu-gelombang-kedua-dan-kapan-situasi-itu-terjadi-?page=all

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *