Post: 10 Mitos tentang Virus Corona Penyebab Covid-19, Masihkah Anda Percaya?
Penulis Nur Rohmi Aida | Editor Sari Hardiyanto KOMPAS.com – Kasus virus corona secara global masih terus menunjukkan peningkatan kendati telah berlangsung hampir 11 bulan. Hingga Sabtu (24/10/2020), jumlah kasus virus corona di seluruh dunia menurut Worldometers mencapai 42.488.366 kasus, 1.149.224 orang meninggal dan 31.423.798 orang sembuh. Beragam informasi dan mitos terkait virus corona penyebab penyakit Covid-19 pun terus bermunculan di tengah masyarakat, baik di dalam negeri maupun luar negeri.
Baca juga: BPJS Kesehatan: Vaksinasi Covid-19 Lancar di Aplikasi P-Care
Berikut ini sejumlah mitos dan anggapan seputar virus corona penyebab Covid-19 yang banyak beredar:
1. Kematian akibat virus corona dibesar-besarkan
Muncul sejumlah anggapan di berbagai kalangan masyarakat bahwa jumlah kematian akibat virus corona hanya dibesar-besarkan saja. Namun mengutip Medical NewsToday, para ahli mengingatkan, faktanya penyakit Covid-19 telah membunuh lebih dari 218.000 orang dalam 8 bulan pertama 2020 di AS. Jumlah tersebut lebih banyak daripada kasus influenza. Di mana menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) memperkirakan bahwa ada 12.000-61.000 kematian terkait influenza setiap tahun sejak 2010.
Mereka menyebut peristiwa virus corona ini memang berkembang pesat. Adanya dampak yang terjadi secara global ini kemudian membuat sulit diterima akal sehat saat mencoba menghitungnya secara statistik terkait tingkat kasus, angka rawat inap dan tingkat kematian saat jumlah mencapai jutaan. Namun meski penyakit ini mungkin memang secara parah menyerang komunitas tertentu yang paling rentan, para ahli mengingatkan untuk tidak menyepelekan, karena semua orang bisa terkena baik orangtua, muda kaya dan miskin.
2. Hanya sekedar flu buruk
Menganggap Covid-19 sebagai sekedar flu buruk merupakan pernyataan yang kurang bijak. Pasalnya sudah banyak jumlah korban sampai sejauh ini. Selain itu menurut para ahli, saat seseorang sembuh dari Covid-19, banyak laporan mengenai gejala sisa dari serangan penyakit tersebut. Gejala sisa itu seperti masalah pernapasan yang biasanya tak ditemukan dalam kasus flu musiman. Selain itu meskipun influenza sendiri bisa mematikan namun flu musiman umumnya tidak memiliki tingkat rawat inap yang tinggi sebagaimana Covid-19.
3. Jarak fisik membuat imun lemah
Salah satu mitos yang muncul yakni menjaga jarak fisik dapat menyebabkan kekebalan tubuh seseorang menjadi lemah. Namun hal tersebut dibantah ahli. Secara naluriah seseorang akan menghindari orang lain ketika orang lain tersebut sakit. Dan selama beberapa generasi, saran untuk menghindari orang yang sakit juga telah sering dikatakan. Terkait virus corona menjaga jarak penting supaya seseorang tidak tertular sehingga tak banyak orang sakit. Jika banyak orang sakit secara bersamaan maka akan berisiko menyebabkan fasilitas kesehatan runtuh karena banyaknya pasien yang datang.
4. Covid-19 disebabkan/diperburuk oleh 5G
5G adalah standar teknologi generasi kelima jaringan seluler broadband. Ini adalah jenis gelombang radio yang didigitasi sehingga meningkatkan transmisi dan kapasitas data. Terkait dengan adanya anggapan jaringan 5G yang memperburuk Covid-19, sejauh ini belum ada bukti yang menunjukkan hubungan sebab akibat antara gelombang radio, frekuensi dan penularan virus.
5. Cuaca panas dan sinar matahari akan membunuh virus corona
Ada cukup banyak keyakinan yang mengatakan virus corona dapat mati oleh cuaca panas dan sinar matahari. Melansir Healthgraes, faktanya virus corona dapat menyebar dengan mudah dari orang ke orang bahkan ketika cuaca panas. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat bahkan dari bukti yang ada, virus dapat menular di semua area termasuk daerah dengan cuaca panas dan lembab. Sinar matahari mungkin memang bisa membunuh virus, namun tak diketahui seberapa banyak paparan sinar yang diperlukan untuk menghancurkan virus. Selain itu, bagaimanapun paparan sinar matahari tak akan mengganggu penularan virus dari orang ke orang.
6. Mengembuskan udara panas ke hidung disebut dapat mencegah Covid-19
Salah satu mitos yang berkembang adalah apabila ada udara panas masuk ke hidung seperti mengarahkan udara panas ke hidung dapat membantu mencegah Covid-19 masuk melalui hidung. Meski demikian cara ini justru dinilai menimbulkan kerugian. Udara panas justru dapat mengeringkan saluran hidung dan menyebabkan retakan jaringan yang melapisi hidung dan bisa mempermudah masuknya kuman. WHO tak merekomendasikan penggunaan udara panas untuk melawan virus corona.
7. Pembersih hidung saline melawan infeksi virus corona
Beberapa orang dengan alergi dan infeksi sinus kronis secara teratur membilas saluran hidung mereka dengan garam (campuran air asin yang lemah) untuk meredakan gejala. Membilas sinus disebutkan dapat menghilangkan bakteri dan virus, tetapi tidak ada bukti bahwa bilasan hidung mencegah infeksi saluran pernapasan, menurut WHO.
8. Tahan napas selama 10 detik, Anda tidak terkena virus corona
Faktanya tak ada cara bagi seseorang untuk mengetahui apakah dirinya terinfeksi atau tidak kecuali melalui tes medis resmi. Saat seseorang bisa menahan napas selama lebih dari 10 detik, bisa saja karena memang seseorang itu hanya memiliki gejala ringan atau tak bergejala yang menyebabkannya bisa menahan napas lebih dari 10 detik tanpa masalah meskipun dia positif.
9. Vitamin C bisa menghindarkan virus corona
Vitamin C memang penting untuk menjaga kekebalan tubuh. Seseorang yang kekurangan vitamin C kekebalannya bisa jadi lebih rentan terhadap infeksi. Meski demikian tidak berarti konsumsi vitamin C menurunkan risiko infeksi. Tidak ada bukti yang jelas atau meyakinkan bahwa hal tersebt berhasil.
10. Memakai sarung tangan mengurangi risiko infeksi
Mengenakan sarung tangan saat berbelanja tidak benar-benar memberikan perlindungan yang berarti. Hal ini karena sarung tangan bisa robek. Selain itu sarung tangan tetap bisa dihinggapi kuman. Saat kuman hinggap di sarung tangan kemudian Anda secara tidak sadar menyentuh muka maka jelas virus corona kemungkinan besar dapat menular.