Jakarta, Beritasatu.com – Rumah sakit di seluruh Indonesia saat ini memikul beban ganda. Selain melayani pasien yang membutuhkan layanan kesehatan, rumah sakit kini juga wajib melayani pasien yang terpapar virus corona (Covid-19). Beban tersebut berkonsekuensi pada membengkaknya biaya yang harus dikeluarkan manajemen rumah sakit.
Oleh karenanya, agar dapat menangani pasien Covid-19 dan pasien lainnya, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) didesak untuk segera melunasi klaim dari rumah sakit yang tertunggak pembayarannya. Hal ini sangat mendesak mengingat rumah sakit ibarat di medan peperangan menghadapi pandemi Covid-19.
Demikian disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, saat dihubungi Minggu (5/4/2020). “Sampai saat ini BPJS masih ada sejumlah tunggakan klaim ke rumah sakit untuk layanan pasien non-Covid-19,” ujarnya.
Saat rapat dengar pendapat dengan DPR pada pertengahan Februari lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan, defisit BPJSK masih mencapai Rp 15,5 triliun, yang antara lain mencakup tunggakan klaim rumah sakit. Namun, dari sumber SP lain yang tak mau disebutkan namanya menyebutkan, per Maret ini tunggakan tersebut sudah berkurang di bawah Rp 5 triliun.
Baca juga: BPJS Kesehatan Segera Kembalikan Lebih Bayar Peserta
Timboel Siregar meminta tunggakan klaim rumah sakit harus segera dibayar untuk menjaga cash flow mereka agar tetap lancar. “Jangan sampai di tengah wabah Covid-19 ini semakin menambah beban rumah sakit, sehingga mereka tidak bisa optimal membantu menangani pasien corona,” ujarnya.
Selain segera membayar tunggakan klaim rumah sakit, Timboel juga meminta agar dana Rp 3 triliun yang disiapkan APBN segera dicairkan untuk membantu keuangan BPJSK. Anggaran Rp 3 triliun itu untuk menyubsidi peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja yang iurannya batal naik 1 Januari 2020 pasca-putusan Mahkamah Agung.
Meskipun demikian, menurut Timboel, dana Rp 3 triliun subsidi ini tidak cukup menutupi kekurangan atau selisih akibat dari iuran peserta mandiri yang batal naik tersebut. “Minimal dana talangan ini bisa untuk membayar sisa tunggakan BPJS ke rumah sakit,” katanya.
Menurut catatan BPJS Watch, setiap bulan pengeluaran BPJS untuk membayarkan seluruh fasilitas kesehatan sebesar Rp 9 triliun, sedangkan penerimaan dari iuran peserta sekitar Rp 10,8 triliun. Dari pengeluaran dan penerimaan tersebut masih ada surplus Rp 1,8 triliun. Namun, pendapatan ini tidak bisa optimal karena masih banyak peserta yang menunggak iuran.
Oleh karena itu, Timboel mendorong pemerintah memberikan kepastian pembiayaan kepada semua rumah sakit. Bukan hanya rumah sakit rujukan yang melayani pasien Covid-19, tetapi semua rumah sakit yang melayani pasien JKN-KIS. Pasalnya, rumah sakit non-rujukan pun merawat pasien yang dalam kategori Covid-19 disebut orang dalam pemantauan (ODP) atau pasien dalam pengawasan (PDP).
“Ketidakpastian pembiayaan kepada rumah sakit ini pada akhirnya berimbas pada pasien. Ada contoh salah satu kasus yang menimpa peserta JKN-KIS. Bayi baru lahir dirawat di sebuah rumah sakit di daerah Jawa Barat, kemudian ditetapkan dokter kelompok ODP untuk Covid-19. Tidak ada kejelasan pihak mana yang membayar pasien ini. Apakah BPJS atau Dinas Kesehatan setempat atau pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf, mengatakan, jumlah tunggakan klaim bergerak terus seiring dengan penerimaan iuran dari peserta setiap bulannya, termasuk iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) bulan Maret yang dibayarkan Kementerian Keuangan.
Iqbal mengatakan, kewajiban BPJS membayar RS untuk klaim jatuh tempo awal Maret 2020 sudah dilunasi. Setiap bulan pengeluaran BPJS untuk membayar seluruh fasilitas kesehatan yang bekerja sama sebesar Rp 9 triliun.
“Angkanya bergerak terus, dan tentu nilainya (tunggakan, Red) berkurang,” kata Iqbal.
Belum Dicairkan
Secara terpisah, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Rahayu Puspasari mengungkapkan, anggaran Rp 3 triliun untuk menyubsidi BPJSK belum dicairkan. Penyebabnya, masih menunggu keluarnya perpres pengganti Perpres Jaminan Kesehatan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam perpres yang baru nanti akan diakomodasi pula penyelesaian biaya pasien terdampak Covid-19 di rumah sakit melalui BPJSK.
“Untuk anggaran BPJS Kesehatan, saat ini dalam proses pembuatan perpresnya,” kata Rahayu.
Terkait mekanisme rumah sakit mengklaim biaya penanganan pasien Covid-19 untuk mendapatkan penggantian, Rahayu menjelaskan hal tersebut juga masih menunggu rampungnya peraturan menteri kesehatan (permenkes). Menurutnya, permenkes tersebut akan mengatur tentang proses pengajuan klaim hingga standar biaya pelayanan pasien Covid-19.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan seluruh biaya pengobatan untuk pasien yang positif terinfeksi virus corona atau covid-19 akan ditanggung oleh pemerintah. Adapun anggaran untuk perawatan pasien akan disentralisasi melalui Kementerian Kesehatan. Langkah ini diambil karena BPJSK sesuai dengan aturan yang berlaku tidak bisa meng-cover penyakit yang sudah menjadi pandemi global, sehingga beban biaya pelayanan kesehatan atas penanganan bencana wabah Covid-19 ini diambil dari APBN maupun APBD.
Hal ini pun ditegaskan kembali oleh Dirjen Anggaran Kementerian keuangan, Askolani. Menurutnya, pembayaran biaya penanganan pasien Covid-19 akan dilakukan setelah pelaksanaan di rumah sakit dan BPJSK, di mana BPJSK bertindak sebagai verifikator.
“Pembayaran klaim rumah sakit dilaksanakan secara berkala sesuai mekanisme. Dilakukan oleh rumah sakit dan BPJS Kesehatan, untuk kemudian disampaikan kepada Kementerian Kesehatan secara berkala,” jelas Askolani kepada SP, Minggu (5/4/2020).