TEMPO.CO, Frankfurt – Badan Pengawas Obat Uni Eropa (EMA) kembali mengingatkan agar rumah sakit tidak menggunakan chloroquine dan hydroxychloroquine untuk mengobati pasien COVID-19. Dua jenis obat malaria itu yaitu chloroquine dan hydroxychloroquine disebut membawa potensi efek samping berbahaya.
EMA menganjurkan obat tersebut sebaiknya digunakan hanya untuk darurat. Itupun disertai pengawasan ketat kondisi pasien. “Pertimbangkan dengan cermat kemungkinan efek samping, khususnya apabila obat itu diberikan pada dosis tinggi,” bunyi pernyataan EMA, Kamis 23 April 2020.
Badan pengawas itu juga mengingatkan tenaga kesehatan agar terus memantau keadaan pasien yang mengonsumsi obat itu bersamaan dengan obat lain. Chloroquine dan Hydroxychloroquine dinilai berpotensi menyebabkan jantung berdetak tidak normal.
“Kondisi itu dapat kian parah apabila obat malaria tersebut dikonsumsi bersamaan dengan antibiotik azithromycin.”
Hydroxychloroquine telah digunakan untuk mengobati pasien COVID-19 di beberapa negara termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump bahkan pernah mengklaim hydroxychloroquine sebagai “faktor pengubah” dalam perang melawan COVID-19. Penyakit menular tersebut saat ini telah menewaskan hampir 184 ribu jiwa di seluruh dunia.
EMA berpendapat, obat itu mulai digunakan karena ada laporan kurang lengkap yang menduga pil anti-malaria itu berkhasiat. Analisis dari Badan Kesehatan Veteran AS juga telah diajukan untuk diperiksa para ahli.
Isinya, menunjukkan hydroxychloroquine tidak memiliki khasiat menyembuhkan COVID-19. Sebaliknya, obat itu berpotensi menyebabkan kematian pasien yang dirawat di rumah sakit veteran AS.
EMA mengatakan uji coba dalam jumlah besar telah dibuat guna mengetahui kemampuan obat malaria itu menyembuhkan pasien COVID-19. Namun, belum ada kesimpulan akhir dan tidak ada temuan yang memperlihatkan obat itu manjur menyembuhkan pasien COVID-19.
Baca juga: BNPB Sebut Seluruh Jenazah akan Dimakamkan dengan Protokol COVID-19
Laporan hasil uji coba mencatat dua obat itu, yang disetujui untuk menyembuhkan penyakit malaria, lupus dan radang sendi, justru berpotensi menyebabkan gangguan hati dan ginjal pasien COVID-19. Tak cuma itu, tapi juga merusak sel saraf serta menurunkan kadar gula dalam darah si pasien.
Sebelumnya, penelitian sekaligus uji klinis di Brasil tentang kemampuan obat anti malaria chloroquine untuk memerangi virus corona COVID-19 sudah lebih dulu dihentikan sebelum waktunya. Keputusan itu diambil setelah beberapa pasien mengalami komplikasi jantung yang berpotensi fatal.
Temuan awal menunjukkan bahwa chloroquine dosis tinggi tidak direkomendasikan untuk pengobatan COVID-19. “Hasil seperti itu memaksa kami untuk secara prematur menghentikan rekrutmen pasien,” ujar para peneliti dalam laporan pra publikasi medRix, seperti dikutip dari laman New York Post, Senin 13 April 2020. REUTERS
Sumber: https://tekno.tempo.co/read/1334963/covid-19-giliran-eropa-peringatkan-efek-samping-chloroquine