Cara mencegah potensi lonjakan ketiga COVID-19 di Indonesia tentunya harus dilakukan dengan melihat pengalaman terdahulu. Beberapa kali Indonesia mengalami kenaikan kasus selama pandemi COVID-19 ini. Terlebih lagi, hal ini penting diperhatikan dengan adanya wacana diizinkan kegiatan besar. Selain itu, ditambah dengan sudah dekatnya periode Natal dan Tahun Baru 2022.
Sebagai pembelajaran pertama, saat kenaikan kasus pasca periode Idul Fitri tahun 2020. Meskipun saat itu diberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan mudik ditiadakan, kasus tetap naik hingga 214 persen. Kenaikan mulai terjadi 2 minggu pasca Idul Fitri dan bertahan selama 7 minggu.
Baca juga : Ketimpangan Pendidikan Indonesia Makin Nyata di Pandemi Covid-19 (doctortool.id)
Setelah itu, adanya kenaikan kasus lagi yang menjadi Puncak pertama COVID-19 di Indonesia. Terjadi dalam kurun November 2020 hingga Januari 2021. Kenaikan ini merupakan akumulasi dari event kolektif yang dimulai dari hari kemerdekaan 17 Agustus, Maulid Nabi pada 28-29 Oktober, serta periode Natal dan Tahun Baru 2021. Puncak pertama ini terjadi akibat rentetan event besar yang tidak didukung kebijakan pembatasan yang sesuai. Saat itu berlaku PSBB transisi, dan kasus naik sebesar 389 persen dan bertahan hingga 13 minggu. Setelah puncak pertama, kasus sempat menurun selama 15 minggu.
Lonjakan kedua berlangsung lebih singkat selama 8 minggu daripada lonjakan kasus pertama yang bertahan selama 13 minggu. Hal ini terjadi karena kemampuan kesadaran dan respon kolektif antara seluruh lapisan masyarakat dan pemerintah. “Lonjakan kasus kedua telah berhasil kita lewati dan saat ini kasus terus menurun selama 10 minggu terakhir,” imbuh Wiku.
Pelajaran yang dapat diambil dari lonjakan kedua, Indonesia kehilangan banyak nyawa, produktivitas masyarakat, dan tidak stabilnya ekonomi. Lonjakan kasus kedua mengakibatkan 2,5 juta orang positif terinfeksi COVID-19, dan 94.000 diantaranya dilaporkan meninggal dunia. Lalu, angka positif rate mingguan tertinggi berada pada angka 30,72 persen atau 6 kali lipat dari standar yang ditetapkan oleh WHO. Terlebih pula kasus aktif mingguan sempat mencapai 24,21 persen.
Hingga saat ini tercatat 900.000 orang yang sembuh. Pencapaian ini diraih dengan perjuangan berat mengingat persentase ketersediaan tempat tidur nasional sempat mencapai hampir 80 persen. Kondisi lonjakan kedua mendorong diberlakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) dan akhirnya mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Pada Kuartal ketiga 2021, pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 2 persen. Angka ini turun sekitar 5 persen dari pertumbuhan ekonomi pada Kuartal kedua yaitu 7,0 tujuh persen.
Belajar dari lonjakan pertama dan kedua COVID-19 di Indonesia, masyarakat perlu waspada potensi lonjakan ketiga yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia. Hal ini tentunya dengan melihat dari pola kenaikan kasus setelah even atau kegiatan besar di dalam negeri. Terlebih lagi, pembatasan mobilitas dan kegiatan sosial ekonomi yang mulai dilonggarkan perlahan menjadi kekuatan yang dapat berubah menjadi tantangan apabila tidak diikuti dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Apalagi, kebijakan pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat masih menjadi faktor utama penurunan kasus COVID-19 di Indonesia. Padahal pendekatan tersebut tidak dapat dilakukan terus-menerus karena akan berdampak pada sektor lainnya. Selain itu, hal ini tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Disiplin protokol kesehatan menjadi upaya paling mudah dan murah yang bisa dilakukan.
Jadi, menurunnya kasus COVID-19 selama 10 minggu berturut-turut harus disikapi dengan bijak dan berhati-hati. Meskipun sedang dalam masa pelonggaran, kegiatan sosial-ekonomi harus dilakuakn dengan hati-hati dan disiplin protokol kesehatan. Hal ini dilakukan agar Indonesia dapat terhindar dari potensi ancaman lonjakan ketiga.